Perspektif sejarah berguna untuk (1) 
membantu mengendapkan dalam pikiran kita tahapan-tahapan rumit yang 
telah dilalui suatu ilmu, dalam hal ini ilmu tanah, (2) memahami 
faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi pengkajian tanah, dan (3) 
meramalkan hari depan ilmu tanah.
Manusia secara berangsur mendapatkan pengetahuan sebagai hasil perjuangannya demi kemaujudannya (existence).
 Inilah sebabnya mengapa kedokteran, botani dan astronomi merupakan 
disiplin ilmu yang tertua, pengetahuan yang pertama-tama dimiliki 
manusia. Pengetahuan kedokteran dia perlukan untuk melawan gangguan atau
 penyakit tubuhnya. Botani berkembang diderita karena minatnya yang 
mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang 
angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran 
matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan 
sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali 
penyembahan Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap 
pengetahuan manusia bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari 
sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti 
menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk disingkap rahasianya, untuk 
dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.
Bagaimana mengenai tanah? Tanah berada di
 bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia menginjaknya, akan tetapi 
dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh pertolongan dan 
keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat tinggal di 
dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas 
dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil 
tumbuhan, dan selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan 
dedaunan, kulit kayu, atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari
 kedinginan, kehujanan, tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu 
pula tanah bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.
Kelahiran pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern)
 manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian
 padang rumput yang subur untuk menggembalakan ternak, dan yang 
menempati kawasan beriklim basah keperhatiannya tertuju kepada pemilihan
 tanah hutan yang baik untuk dibuka dan bercocok tanam. Manusia masih 
bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan perumputan atau 
kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan waktu lama, 
manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.
Proses pengumpulan dan penghimpunan 
pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah manusia hidup 
menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dan 
andal untuk dapat memilih padang rumput atau tanah yang dapat digunakan 
secara tetap. Lembah-lembah sungai menjadi pilihan pertama untuk 
mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian secara menetap. Tanah 
lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh lumpur banjir. 
Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada alam, akan
 tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan tidak 
berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat 
menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim 
sepanjang sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan 
perdagangan. Mereka yang kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan 
tanah harus mereka usahakan sendiri.
Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan 
kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. 
Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris 
yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan 
tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan 
tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai
 Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena salinisasi. Larutan garam di 
dalam air sungai mengendap dalam tanah karena evaporasi kuat di kawasan 
beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina mengembangkan 
kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran ternak. 
Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam 
klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi 
(Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).
Pengetahuan akan ada kalau ada kebutuhan 
segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah perkembangan suatu 
pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau keadaan tempat 
yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan pengetahuan
 berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam. Akan 
tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu
 sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat 
dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para 
cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain 
maka kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada 
diversifikasi minat di kalangan para ahli pikir itu.
Saat tersebut akhimya tiba juga pada 
menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan perhatian dari para cerdik
 pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia, fisiologi tumbuhan, 
bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan 
mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu masing-masing, 
mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi menganggap
 tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah untuk 
menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir 
(fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan 
fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan 
tanah dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi 
mementingkan unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh 
kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan jasad renik.
Berkat kemajuannya yang pesat dan 
berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan ilmiah. 
Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran dan kegiatan 
analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman kepada
 ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi
 perkembangan ilmu tanah. Terutama “teori mineral” dan “hukum minimum” 
Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu 
kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan 
menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan 
teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan “teori humus” 
Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu 
kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori mineral 
menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum 
neraca hara.
Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian 
tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas 
sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar 
kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan
 tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. 
Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan 
pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. 
Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah
 hanya dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah 
sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada 
kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, 
seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan tanah dengan 
lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan batuan 
yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain di 
luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah.
Fisika juga memberikan sumbangan yang 
sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik 
dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan 
hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang 
tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh
Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan 
penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir 
abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke laboratorium untuk 
dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau biologinya 
belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah ke 
rumah kaca untuk percobaan pot.
Tonggak sejarah penting berikutnya bagi 
perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian abad ke-19 ke abad 
ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh Dokuchaev dan 
murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain dipancangkan di 
Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang
 pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping 
berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan 
agronomi (Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan 
tentang hakekat tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah 
sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan 
sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang 
ditemukan di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan 
menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan 
bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang
 mandiri.
Tanah mempunyai asal-usul, diujudkan di 
bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui berbagai proses khas dan 
rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan pola yang dapat 
ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah 
merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. 
Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas 
(forces) yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan 
tanggapan ini terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang 
terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and translocations).
Pada waktu dikuasai ilmu kimia, 
pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah cuplikan 
tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah 
laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika 
tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam 
menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan 
dinamik. Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium), anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually adjustment)
 dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat nisbi. 
Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan 
timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian 
keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah 
keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh 
tanah itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap 
penelitian untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil 
penetapan laboratorium atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan 
yang lain, baik secara vertikal untuk memperoleh rujukan tubuh maupun 
secara lateral untuk memperoleh rujukan bentangan. Dengan demikian tiap 
data tanah berada dalam suatu sistem informasi yang bermatra ruang. 
Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah memperoleh pula matra waktu.
Setelah berhasil melahirkan konsep khusus
 tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum yang mengatur 
faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu disiplin
 ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu 
kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi “bapak angkat” ilmu tanah
 melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi 
alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam
 pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).
Ilmu tanah masih muda sekali, boleh 
dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi dengan 
memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami 
kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu 
tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan 
dalam teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan 
metode penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu 
cerdik dapat diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan 
oleh Profesor Edelman almarhum dalam bukunya “Sociale en Economische 
Bodemkunde” (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di 
antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup.
Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas 
setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta 
dan bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara 
intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam 
kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini 
ilmu tanah tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan 
tetapi merangkaikan kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial 
dan ekonomi sangat nyata. Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala 
informasi tentang tanah memperoleh makna “tempat” dan penyalurannya 
menjadi lebih efektif karena dapat mengikuti asas ekstrapolasi atau 
adaptasi.
Hal ini jelas berguna sekali bagi 
penaburan ilmu dan teknologi tanah. Kebutuhan akan pendirian himpunan 
ilmu tanah, penerbitan jurnal ilmu tanah, atau penyelenggaraan pertemuan
 ilmu tanah secara berkala, menjadi bukti nyata tentang kepentingan 
penyaluran informasi untuk mendorong perkembangan ilmu tanah lebih pesat
 lagi. Misalnya, pertemuan ilmu tanah yang pertama kali diadakan di 
Indonesia berlangsung pada tahun 1930 di Yogyakarta. Salah satu jurnal 
ilmu tanah tertua “Soil Science” yang sekarang menjadi medium penyiaran 
ilmu tanah yang disegani, mulai terbit pada tahun 1916. Soil Science 
Society of America berdiri pada tahun 1936. Sebagai catatan, Himpunan 
Ilmu Tanah Indonesia baru berdiri pada tahun 1961 dan itupun “hidup 
segan mati tak sudi”.
 
numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*